BestieIndonesiaNews.id, Tabik Pun - Polemik terkait pengangkatan gelar adat di Lampung, khususnya dalam konteks Pilkada 2024 di Lampung Timur, mencerminkan hubungan yang kompleks antara tradisi, identitas, dan politik.
Kasus Lampung Pepadun yang mencuat belakangan ini menjadi sorotan, tidak hanya karena dampak potensialnya terhadap calon yang diangkat, tetapi juga karena pemberitaan media yang terkesan tidak berimbang.
Gelar adat memiliki makna mendalam bagi masyarakat Lampung, melambangkan penghormatan, legitimasi, dan identitas budaya. Namun, menjadi sangat disayangkan ketika gelar adat ini ditarik ke ranah politik.
Pertanyaannya, sejauh mana gelar ini masih mencerminkan nilai-nilai luhur yang seharusnya dijunjung tinggi oleh masyarakat?
Dalam konteks ini, para calon yang diangkat sebagai kontestan Pilkada perlu siap menghadapi tantangan terhadap legitimasi yang mereka peroleh melalui gelar adat, terutama jika penunjukan tersebut tidak diterima oleh pihak-pihak lain yang merasa diabaikan.
Selain itu, saya juga menyoroti peran media yang tidak menampilkan sudut pandang kedua belah pihak secara seimbang, sehingga memunculkan pertanyaan besar tentang etika jurnalistik dan tanggung jawab media.
Media seharusnya menjadi jembatan penghubung berbagai perspektif, bukan malah memperkeruh situasi.
Ketika media gagal menjembatani diskusi secara adil, hal ini hanya akan memperdalam polarisasi di masyarakat.
Di era informasi yang begitu cepat menyebar, sangat penting bagi kita untuk mengevaluasi bagaimana kita mengonsumsi berita dan membentuk opini.
Kepentingan masyarakat harus menjadi prioritas, di mana setiap suku, setiap suara, memiliki hak untuk didengar dan dihargai.
Mari kita dorong dialog yang konstruktif dan penuh rasa saling menghormati, agar setiap tokoh, baik dari latar belakang adat maupun politik, dapat berkontribusi terhadap pembangunan yang inklusif di Lampung Timur.
Dengan berbagi perspektif yang beragam, kita mungkin bisa menemukan jalan tengah yang menghormati tradisi namun tetap membuka ruang untuk kemajuan bersama.
Saatnya generasi muda mengambil peran dalam menjawab tantangan ini dan berupaya membangun jembatan, bukan tembok, antara berbagai kelompok.
Hanya dengan cara demikian, kita bisa memastikan bahwa tradisi dan modernitas berjalan berdampingan menuju masa depan yang lebih baik.