Oleh : Fahri ( Wartawan )
BestieIndonesiaNews.id, Tabik Pun - Di era demokrasi modern, pemilihan kepala daerah menjadi salah satu wujud nyata partisipasi masyarakat dalam menentukan pemimpin yang akan mengelola dan memajukan daerahnya.
Namun, di balik kemeriahan pesta demokrasi, tidak jarang muncul praktik-praktik yang mencederai nilai-nilai demokrasi itu sendiri.
Salah satu fenomena yang kerap terjadi adalah upaya penjegalan terhadap petahana atau incumbent yang masih menjabat.
Upaya penjegalan terhadap petahana sering kali mencerminkan dinamika politik lokal yang kompleks.
Petahana biasanya memiliki keuntungan dalam pemilihan karena mereka memiliki akses lebih besar terhadap sumber daya, jaringan, dan popularitas yang telah dibangun selama masa jabatan.
Namun, keuntungan ini juga bisa menjadi sasaran empuk bagi lawan politik yang berusaha menggagalkan upaya petahana untuk kembali menjabat.
Dalam konteks ini, penjegalan bisa terjadi melalui berbagai cara, mulai dari cara-cara yang legal hingga yang tidak etis. Misalnya, beberapa pihak mungkin menggunakan isu hukum untuk mendiskreditkan petahana.
Tuduhan korupsi, penyalahgunaan wewenang, atau pelanggaran administratif sering kali dimanfaatkan sebagai senjata untuk merusak citra petahana di mata publik.
Jika tuduhan tersebut benar, tentu proses hukum harus berjalan dengan adil dan transparan.
Namun, dalam banyak kasus, tuduhan-tuduhan ini sering kali tidak berdasar dan lebih berfungsi sebagai alat politik dari pada upaya penegakan hukum yang murni.
Penjegalan melalui cara ini menunjukkan lemahnya sistem hukum yang rentan terhadap intervensi politik.
Di sisi lain, upaya penjegalan juga bisa muncul dalam bentuk manuver politik seperti penggagalan agar tidak mendapat rekom partai, perubahan aturan pemilu yang mendadak, manipulasi administratif, atau tekanan terhadap aparatur sipil negara untuk tidak mendukung petahana.
Praktik-praktik semacam ini menunjukkan bahwa politik kotor masih menjadi bagian dari realitas politik kita.
Upaya penjegalan yang tidak sehat ini memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap demokrasi.
Pertama, praktik ini merusak kepercayaan publik terhadap proses demokrasi itu sendiri. Ketika masyarakat melihat bahwa pemilihan lebih didominasi oleh intrik politik dari pada penilaian terhadap kinerja dan kapabilitas kandidat, mereka bisa menjadi apatis dan kehilangan kepercayaan terhadap institusi demokrasi.
Kedua, penjegalan semacam ini juga menghambat munculnya pemimpin-pemimpin yang berkualitas.
Jika upaya-upaya menjegal petahana dilakukan secara tidak etis dan tidak berdasarkan fakta, hal ini bisa menciptakan preseden buruk di mana calon-calon potensial yang berintegritas menjadi enggan untuk terjun ke dunia politik karena takut akan risiko penjegalan.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan reformasi sistem politik dan hukum yang lebih komprehensif.
Pertama, perlu ada mekanisme pengawasan yang ketat terhadap penggunaan tuduhan hukum dalam konteks politik. Lembaga peradilan harus dijaga independensinya agar tidak mudah diintervensi oleh kepentingan politik tertentu.
Kedua, perlu ada transparansi dalam perubahan aturan pemilu dan proses administratif lainnya.
Setiap perubahan yang signifikan harus melibatkan partisipasi publik dan diawasi oleh lembaga-lembaga independen untuk memastikan bahwa tidak ada penyalahgunaan wewenang.
Ketiga, pendidikan politik bagi masyarakat juga harus ditingkatkan.
Masyarakat yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam proses demokrasi akan lebih kritis terhadap praktik-praktik politik yang tidak sehat.
Dengan demikian, tekanan dari bawah bisa menjadi penyeimbang kekuatan politik yang ada di atas.
Upaya penjegalan terhadap petahana Kepala Daerah bukan hanya mencerminkan dinamika politik lokal yang kompleks, tetapi juga menunjukkan adanya tantangan besar dalam mewujudkan demokrasi yang sehat dan berintegritas.
Praktik-praktik penjegalan yang tidak etis dan manipulatif merusak kepercayaan publik terhadap proses demokrasi dan menghambat munculnya pemimpin-pemimpin yang berkualitas.
Oleh karena itu, diperlukan reformasi sistem politik dan hukum yang lebih transparan dan adil, serta peningkatan pendidikan politik bagi masyarakat.
Hanya dengan cara ini, kita bisa berharap bahwa demokrasi di tingkat lokal bisa benar-benar mencerminkan aspirasi dan kehendak rakyat.
(**).