BestieIndonesiaNews.id, Tabik Pun – Pilkada Lampung Timur 2024 telah menjadi perhatian banyak pihak karena diwarnai oleh sejumlah peristiwa yang memancing tanda tanya besar terkait keberlangsungan demokrasi di daerah ini.
Salah satu insiden yang menonjol adalah penolakan dua pasangan calon bupati dan wakil bupati yang berusaha mendaftarkan diri di hari terakhir.
Alasannya, mereka tidak memenuhi syarat administrasi terkait Sistem Informasi Pencalonan (Silon) dan berbagai alasan teknis lainnya.
Namun, apakah alasan ini benar-benar substansial, atau ada motif lain yang bermain di balik layar?
Penolakan ini memunculkan kekhawatiran akan adanya upaya "begal demokrasi," sebuah istilah yang tepat menggambarkan tindakan yang secara sengaja menghambat hak politik seseorang atau kelompok untuk berpartisipasi dalam kontestasi politik.
Dalam konteks Pilkada Lampung Timur, ketika calon yang ingin maju melalui jalur yang sah secara tiba-tiba dihalangi oleh regulasi yang terkesan dibuat rumit, publik berhak curiga. Apakah ini hanya soal teknis atau ada upaya politis untuk membatasi pilihan rakyat?
Silon, sebagai sistem yang mengatur pendaftaran calon, seharusnya menjadi alat untuk mempermudah proses, bukan justru menjadi alasan untuk menghalangi kandidat.
Banyak yang menilai bahwa aturan terkait penggunaan Silon sering kali menjadi alat untuk menyulitkan calon tertentu, terutama mereka yang tidak memiliki akses atau dukungan kuat dari pihak-pihak yang berkuasa.
Apalagi jika masalah teknis tersebut baru disampaikan di hari terakhir, ini semakin mengindikasikan adanya kejanggalan dalam proses tersebut.
Pilkada adalah sarana bagi rakyat untuk menyalurkan hak suaranya secara bebas dan adil.
Ketika proses pendaftaran calon dihambat dengan berbagai alasan yang tidak jelas, ini merusak kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan Pilkada itu sendiri.
Rakyat Lampung Timur mungkin merasa pilihan mereka telah dipersempit secara sengaja oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan kelompoknya.
Selain itu, penolakan ini mengundang kecurigaan adanya intervensi dari elit politik yang ingin memonopoli kontestasi Pilkada. Jika hanya calon tertentu yang dibiarkan lolos, sementara yang lainnya dihalangi dengan alasan teknis, ini jelas bertentangan dengan prinsip demokrasi yang seharusnya inklusif dan terbuka bagi semua.
Ke depan, sudah seharusnya penyelenggara Pilkada lebih transparan dan profesional dalam menjalankan tugasnya.
Masalah teknis seperti Silon tidak boleh menjadi senjata untuk menghalangi calon yang sah. Jika dibiarkan, praktik begal demokrasi semacam ini hanya akan memperburuk kondisi demokrasi di Lampung Timur dan semakin memicu ketidakpercayaan publik.
Kita semua memiliki tanggung jawab untuk menjaga agar Pilkada berjalan dengan jujur, adil, dan memberikan ruang bagi semua kandidat untuk berpartisipasi.