Foto : Agung, Penggiat konservasi penyu sisik di pulau sabira. (Ist)
BestieIndonesiaNews.id, Kepulauan Seribu – Langkah kaki para relawan menapaki pasir Pulau Sabira menjelang fajar, membawa kotak berisi tukik penyu sisik yang siap dilepas ke laut. Bukan sekadar ritual, pelepasan tukik ini menjadi penanda kolaborasi antara masyarakat, PT Pertamina Hulu Energi Offshore South East Sumatera (PHE OSES), dan pemerintah dalam melawan kepunahan penyu serta abrasi yang terus menggerogoti pesisir Sabira.
Lewat Program Tiga Perisai, PHE OSES tak hanya menghadirkan energi dari perut bumi, tetapi juga energi perubahan bagi warga pesisir.
Penanaman 130 ribu batang mangrove, konservasi 18 ribu lebih penyu sisik, serta penguatan ekonomi nelayan menjadi tiga tameng nyata Sabira dalam menghadapi perubahan iklim.
“Bagi kami, melepas tukik ke laut bukan hanya soal melepas penyu kecil, tetapi melepas harapan baru untuk Sabira,” ujar Agung, penggiat konservasi penyu di Sabira yang telah mendedikasikan satu dekade hidupnya untuk menjaga penyu.
Sejak 2015, Agung bersama warga telah melepas lebih dari 18.000 penyu sisik dan penyu hijau. Namun tantangan tidak ringan. Awalnya, banyak masyarakat masih berburu dan mengonsumsi telur penyu karena kepercayaan akan khasiatnya.
Edukasi dari hati ke hati menjadi jalan panjang yang mereka tempuh, dari balai warga, pantai, hingga diskusi selepas subuh.
“Alhamdulillah, sekarang banyak warga yang justru ikut melaporkan jika menemukan sarang penyu. Mereka membantu kami melindungi sarang dari biawak dan predator lain. Ini perubahan besar,” ujar Agung dengan mata berbinar.
Harapan Agung sederhana, namun dalam. Dia ingin konservasi di Sabira terus berjalan sehingga anak cucu bisa melihat penyu sisik bertelur di pasir putih Sabira, dan Sabira menjadi tujuan wisata edukasi dan studi konservasi untuk mahasiswa dari seluruh Indonesia.
Menanggapi hal tersebut, Sr Manager Relations Pertamina Subholding Upstream Regional Jawa, Agus Suprijanto, menjelaskan wilayah Kepulauan Seribu menghadapi ancaman abrasi pantai, arus pasang surut, serta masih adanya aktivitas perburuan telur penyu yang mengancam keberlanjutan ekosistem laut. Dalam kondisi itu, penyu sisik menjadi simbol kritis ekosistem yang harus dijaga.
“Program Tiga Perisai kami hadirkan bukan hanya untuk menjaga ekosistem, tetapi juga agar masyarakat Sabira memiliki harapan ekonomi dari aktivitas konservasi dan ekowisata, bukan dari praktik yang merusak,” kata Agus Suprijanto, Sabtu 19 Juli 2025.
Agus menjelaskan, penanaman 130 ribu mangrove bukan sekadar penghijauan, tetapi solusi konkret pengendalian abrasi yang hasilnya sudah mulai dirasakan masyarakat.
Pengolahan limbah kayu bekas kapal menjadi produk kerajinan juga membuka peluang ekonomi kreatif bagi pemuda Sabira, sekaligus menjadi sarana edukasi wisatawan.
“Konservasi penyu yang telah menyelamatkan ribuan tukik bukan sekadar angka. Itu adalah bukti bahwa lingkungan dan ekonomi bisa berjalan berdampingan. Program ini telah mendapat apresiasi Green World Award di Auckland, tetapi penghargaan sesungguhnya adalah ketika masyarakat Sabira bangga menjadi penjaga lingkungannya sendiri,” tambahnya.
Agus menekankan monitoring dilakukan ketat dengan kunjungan Community Development Officer secara rutin, evaluasi bersama mitra binaan dan stakeholder, serta pemantauan pertumbuhan mangrove dan tukik setiap bulan untuk memastikan keberhasilan program.
Sementara itu, Kepala BKSDA Jakarta, Didid Sulastiyo, menegaskan penyu sisik merupakan satwa dilindungi yang kini berada di ambang kepunahan akibat degradasi habitat, perburuan telur, dan perubahan iklim.
Berdasarkan peraturan yang ada, penyu sisik mendapat perlindungan penuh, termasuk di habitat penting seperti Pulau Sabira.
“Pulau Sabira menjadi habitat penting penyu sisik di wilayah kerja kami, sehingga kolaborasi multipihak menjadi kunci konservasi di sini,” ujarnya.
BKSDA Jakarta mendukung penuh kolaborasi dengan PHE OSES, Karang Taruna Pulau Sabira, dan pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam menjaga habitat penyu.
Pendampingan, pemantauan, dan evaluasi dilakukan secara rutin, baik dengan kunjungan lapangan maupun laporan daring dari masyarakat setempat.
“Kami melihat adanya transformasi sosial di Sabira, di mana masyarakat yang dulu mengambil telur penyu kini menjadi penjaga sarang penyu, bahkan edukator untuk generasi muda,” kata Didid.
Didid juga menjelaskan tantangan konservasi masih ada, seperti keterbatasan SDM, ancaman sampah laut, aktivitas manusia, serta predator alami seperti biawak. Oleh karena itu, BKSDA mendorong integrasi konservasi penyu dalam rencana pengelolaan wilayah pesisir, penggunaan CCTV untuk pengawasan sarang, hingga kolaborasi dengan akademisi untuk riset populasi penyu sisik.
Didid juga mengatakan bahwa upaya penyelamatan penyu di Sabira itu bisa menjadikan sarana edukasi dan peduli satwa untuk generasi muda dan masyarakat yang luas.
“Kami percaya konservasi bukan sekadar proyek jangka pendek, tetapi menjadi bagian budaya dan ekonomi lokal masyarakat Sabira, serta menjadikan mereka sebagai penjaga utama keanekaragaman hayati dan menjadi sarana edukasi bagi generasi muda. Ini semangat yang harus terus dijaga,” tegasnya.
Di Pulau Sabira, konservasi bukan hanya tentang menyelamatkan penyu, tetapi juga menjaga garis pantai, mendidik generasi, dan menghidupkan ekonomi masyarakat pesisir.
Melalui Tiga Perisai, PHE OSES, masyarakat, dan pemerintah membuktikan bahwa kolaborasi adalah jalan menjaga bumi tanpa meninggalkan manusia.
Ketika tukik-tukik kecil berenang menuju laut lepas, harapan Sabira untuk masa depan yang lebih hijau dan lestari ikut mengalir bersama ombak, membawa pesan: kita semua bisa menjadi penjaga bumi, mulai dari pantai-pantai kecil seperti Sabira.
Laporan : Fahri