BestieIndonesiaNews.id, Tabik Pun - Pemilihan kepala daerah (Pilkada) seharusnya menjadi ajang demokrasi yang bersih, jujur, dan adil. Namun, kenyataan di lapangan sering kali jauh dari harapan.
Di Lampung Timur, berbagai laporan dugaan pelanggaran selama proses Pilkada mencuat, mulai dari laporan tentang kepala desa yang terlibat politik praktis pemeriksaannya dihentikan dengan berbagai macam alasan.
Imbasnya, banyak masyarakat mulai meragukan efektivitas melapor ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Frasa “Percuma lapor Bawaslu” menjadi gambaran keputusasaan atas kinerja lembaga pengawas tersebut.
Sebagai lembaga independen, Bawaslu memiliki mandat penting untuk mengawasi jalannya pemilu dan memastikan semua pihak mematuhi aturan.
Bawaslu juga memiliki kewenangan untuk menindak laporan masyarakat terkait dugaan pelanggaran. Namun, di berbagai daerah, termasuk Lampung Timur, banyak kasus yang dilaporkan masyarakat terkesan mandek atau tidak jelas kelanjutannya.
Misalnya, dalam Pilkada Lampung Timur 2024, beberapa kelompok melaporkan dugaan pelanggaran oleh calon tertentu. Namun, alih-alih memberikan keadilan, proses penanganan laporan ini cenderung lambat dan bahkan tidak jarang berakhir tanpa tindak lanjut yang jelas.
Hal ini menciptakan persepsi bahwa melapor ke Bawaslu hanya membuang waktu dan tenaga.
Kepercayaan publik terhadap Bawaslu semakin memudar ketika masyarakat merasa bahwa lembaga ini tidak independen atau bahkan terkesan “masuk angin.”
Meskipun ini mungkin hanya persepsi, namun dampaknya nyata: masyarakat enggan melapor, merasa bahwa laporan mereka tidak akan direspons serius. Padahal, kepercayaan publik adalah fondasi utama keberhasilan lembaga pengawas seperti Bawaslu.
Selain itu, minimnya transparansi dalam menangani laporan juga menjadi masalah. Banyak masyarakat tidak tahu bagaimana perkembangan laporan yang telah mereka ajukan. Ketika pertanyaan mereka tidak dijawab dengan jelas, rasa frustrasi pun semakin besar.
Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat, Bawaslu harus segera melakukan reformasi internal.
Pertama, transparansi dalam menangani laporan harus ditingkatkan. Masyarakat perlu tahu bagaimana laporan mereka diproses dan apa hasilnya.
Kedua, Bawaslu harus menunjukkan keberanian dalam menindak pelanggaran, termasuk jika pelanggaran tersebut melibatkan pihak-pihak yang memiliki pengaruh besar.
Selain itu, edukasi kepada masyarakat juga penting. Bawaslu harus memberikan pemahaman bahwa laporan masyarakat adalah bagian penting dari pengawasan demokrasi.
Dengan cara ini, masyarakat akan merasa dilibatkan dalam proses dan lebih percaya bahwa suara mereka didengar.
Meski banyak kekecewaan, masyarakat tetap memiliki harapan agar Bawaslu bisa berbenah. Demokrasi tidak akan berjalan baik tanpa pengawasan yang kuat.
Oleh karena itu, Bawaslu perlu membuktikan bahwa mereka benar-benar menjalankan fungsinya sebagai lembaga pengawas yang adil dan tegas.
“Percuma lapor Bawaslu” seharusnya tidak menjadi stigma yang melekat di masyarakat. Sebaliknya, Bawaslu harus bekerja keras untuk menghapus persepsi tersebut dan mengembalikan kepercayaan publik.
Karena tanpa pengawasan yang efektif, demokrasi kita hanya akan menjadi formalitas tanpa esensi.