BestieIndonesiaNews.id, Tabik Pun - Menjelang Pilkada di Lampung Timur, suasana politik semakin memanas, dan yang menjadi perhatian besar adalah peran sejumlah kepala desa yang diduga terlibat dalam politik praktis.
Fenomena ini cukup mengkhawatirkan karena beberapa oknum kepala desa secara terang-terangan mengajak bahkan memerintahkan perangkat desa untuk mendukung salah satu pasangan calon.
Kondisi ini bukan hanya mengaburkan batas antara kepentingan publik dan politik, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran atas integritas dan netralitas pemerintahan di tingkat desa.
Sebagai pemimpin masyarakat di desa, kepala desa seharusnya menjadi sosok netral yang mengayomi seluruh warganya tanpa memandang afiliasi politik.
Ketika seorang kepala desa terbawa arus politik praktis, banyak dampak negatif yang muncul, mulai dari perpecahan di antara perangkat desa hingga ketidakpercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan mereka.
Padahal, kepala desa memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas sosial di tingkat desa, terutama ketika suhu politik sedang tinggi. Jika mereka justru terlibat dalam kegiatan politik praktis, maka hal ini hanya akan memperkeruh situasi.
Keikutsertaan kepala desa dalam mendukung salah satu calon dapat menimbulkan ketidakadilan dalam pelayanan masyarakat.
Kepala desa memiliki kendali atas berbagai program desa, seperti bantuan sosial, infrastruktur, hingga pelayanan administrasi.
Ketika kepala desa berpihak pada satu pasangan calon, ada potensi bahwa program-program tersebut digunakan sebagai alat kampanye. Hal ini bisa menyebabkan masyarakat yang tidak mendukung calon tertentu merasa diabaikan atau bahkan dirugikan.
Selain itu, campur tangan kepala desa dalam politik praktis juga mencederai kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi.
Pemilu seharusnya menjadi momen di mana rakyat bebas menentukan pilihannya tanpa ada paksaan atau intervensi dari pihak mana pun, termasuk dari aparat desa.
Ketika kepala desa mengarahkan perangkat desa atau masyarakat untuk mendukung salah satu calon, kebebasan dalam berdemokrasi justru menjadi terancam.
Masyarakat desa yang seharusnya merdeka dalam memilih kini seakan-akan terjebak dalam tekanan atau pengaruh dari kepala desa.
Fenomena kepala desa yang terlibat politik praktis ini juga membuka peluang bagi terjadinya konflik di tingkat desa.
Sebagai pemimpin masyarakat, kepala desa seharusnya memiliki tanggung jawab untuk menjaga persatuan dan keharmonisan. Ketika mereka terlibat dalam politik praktis, perpecahan di antara masyarakat menjadi hal yang sulit dihindari.
Masyarakat yang berbeda pilihan politik bisa saling berselisih, bahkan di antara perangkat desa sendiri bisa terjadi perbedaan pandangan yang berujung pada ketidakharmonisan.
Maka dari itu, penting bagi semua pihak, terutama pihak pengawas pemilu, untuk memperhatikan dan menindak oknum kepala desa yang terlibat dalam politik praktis.
Peran kepala desa dalam Pilkada seharusnya adalah sebagai pengayom yang menjaga ketertiban di masyarakat, bukan sebagai alat kampanye dari calon tertentu.
Langkah tegas terhadap pelanggaran ini perlu diambil agar kepala desa tidak menggunakan jabatannya untuk memengaruhi pilihan politik masyarakat.
Pilkada di Lampung Timur harus menjadi pesta demokrasi yang bersih dan adil. Semua pihak, termasuk kepala desa, harus menjunjung tinggi prinsip netralitas agar kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi tetap terjaga.
Kepala desa yang jujur dan netral akan lebih dihormati oleh masyarakat daripada mereka yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan politik.
Masyarakat berhak mendapatkan pemilu yang bersih, dan pemilu yang bersih hanya bisa terjadi jika para pemimpin desa juga berkomitmen pada prinsip netralitas dan keadilan.
Semoga Pilkada Lampung Timur kali ini bisa menjadi ajang demokrasi yang benar-benar merepresentasikan kehendak rakyat tanpa ada intervensi dari pihak mana pun, terutama dari para pemimpin di tingkat desa.