Foto / ilustrasi
BestieIndonesiaNews.id, Tabik Pun - Jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Lampung, fenomena kotak kosong kembali menjadi sorotan.
Fenomena ini bukanlah hal baru dalam kontestasi politik di Indonesia, termasuk di Lampung.
Dalam beberapa Pilkada sebelumnya, kehadiran kotak kosong di surat suara kerap kali menjadi opsi bagi pemilih ketika hanya ada satu pasangan calon yang berpartisipasi.
Namun, pertanyaannya adalah, apakah fenomena ini mencerminkan demokrasi yang sehat atau justru menandakan kemandekan politik?...
Secara sederhana, kotak kosong adalah pilihan dalam surat suara yang disediakan bagi pemilih ketika hanya ada satu pasangan calon yang maju dalam Pilkada.
Fenomena ini memungkinkan masyarakat untuk tetap memiliki pilihan, meskipun dalam situasi di mana calon lain tidak ada.
Jika kotak kosong menang, maka pemilihan harus diulang dengan calon yang berbeda. Di beberapa daerah di Indonesia, kotak kosong telah beberapa kali memenangkan Pilkada, menunjukkan bahwa masyarakat tidak selalu setuju dengan calon tunggal yang diajukan.
Fenomena kotak kosong dalam Pilkada Lampung bisa dilihat dari dua sisi. Di satu sisi, kehadiran kotak kosong mencerminkan mekanisme demokrasi yang memberikan ruang bagi pemilih untuk menolak calon tunggal.
Ini memberikan pesan bahwa masyarakat tidak sekadar "dipaksa" untuk memilih satu-satunya pilihan yang ada.
Dengan memilih kotak kosong, pemilih menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap proses seleksi calon, termasuk terhadap partai politik yang tidak berhasil mengusung lebih dari satu calon.
Namun, di sisi lain, fenomena ini juga bisa dilihat sebagai tanda kemandekan dalam sistem politik. Hanya ada satu pasangan calon yang muncul dalam Pilkada dapat mengindikasikan adanya masalah dalam proses seleksi dan rekrutmen politik.
Bisa jadi, ini mencerminkan dominasi kekuatan politik tertentu yang terlalu kuat, sehingga partai-partai lain tidak memiliki cukup kekuatan untuk mencalonkan kandidat tandingan.
Selain itu, kotak kosong juga bisa menjadi cerminan rendahnya kualitas demokrasi, di mana kompetisi politik yang sehat "seharusnya menjadi pilar utama demokrasi" Ini tidak terwujud.
Ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap munculnya fenomena kotak kosong di Lampung. Salah satunya adalah dominasi politik dinasti atau oligarki di tingkat lokal.
Ketika satu keluarga atau kelompok tertentu memiliki kendali kuat atas politik daerah, mereka dapat mempengaruhi partai-partai untuk tidak mencalonkan kandidat lain, sehingga hanya ada satu pasangan calon yang diusung.
Selain itu, biaya politik yang tinggi juga menjadi penghalang bagi banyak calon potensial untuk maju dalam Pilkada.
Dalam situasi di mana biaya kampanye sangat tinggi, banyak calon potensial yang akhirnya mengurungkan niatnya untuk mencalonkan diri.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lemahnya kaderisasi di partai politik. Banyak partai politik yang lebih mengutamakan pragmatisme jangka pendek daripada membangun kaderisasi yang kuat.
Akibatnya, ketika tiba saatnya Pilkada, partai tidak memiliki cukup calon yang siap untuk diusung, sehingga terjadilah situasi di mana hanya ada satu calon yang maju.
Fenomena kotak kosong tentu memiliki dampak yang signifikan terhadap kualitas demokrasi di Lampung. Ketika pemilih dihadapkan pada pilihan yang sangat terbatas, mereka mungkin merasa apatis dan kurang termotivasi untuk berpartisipasi dalam pemilihan.
Ini dapat menurunkan tingkat partisipasi pemilih, yang pada akhirnya dapat melemahkan legitimasi pemimpin yang terpilih. Lebih jauh lagi, jika kotak kosong menang, ini akan memperpanjang proses pemilihan dan menambah biaya yang harus ditanggung oleh negara.
Namun, di sisi lain, kemenangan kotak kosong bisa menjadi "wake-up call" bagi partai politik untuk memperbaiki proses seleksi calon dan meningkatkan kaderisasi.
Ini juga dapat mendorong munculnya calon-calon independen yang lebih berkualitas dan didukung oleh masyarakat, sehingga menciptakan dinamika politik yang lebih sehat dan kompetitif.
Fenomena kotak kosong jelang Pilkada di Lampung merupakan cermin dari kondisi demokrasi kita saat ini.
Di satu sisi, dia menunjukkan bahwa masih ada mekanisme bagi masyarakat untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka terhadap calon tunggal yang diajukan.
Namun di sisi lain, fenomena ini juga menandakan adanya masalah mendasar dalam sistem politik kita, seperti dominasi oligarki, tingginya biaya politik, dan lemahnya kaderisasi partai politik.
Agar demokrasi di Lampung bisa berkembang dengan lebih sehat, diperlukan upaya serius dari semua pihak, terutama partai politik, untuk menciptakan kompetisi yang lebih adil dan terbuka.
Dengan demikian, Pilkada tidak hanya menjadi ajang formalitas, tetapi benar-benar menjadi perwujudan dari kedaulatan rakyat.
(**).