Oleh : Arif Fahrudin / Fahri
BestieIndonesiaNews.id, Tabik Pun - Demokrasi, sebuah sistem yang selama ini menjadi kebanggaan bangsa, tampaknya kini berada di ujung tanduk.
Munculnya tanda-tanda kematian demokrasi di Indonesia, terutama yang diawali oleh Pilkada DKI Jakarta, telah memunculkan kekhawatiran yang cukup serius.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di ibu kota, tetapi juga mulai menjalar ke berbagai daerah di seluruh negeri tanpa terkecuali di Lampung.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan: Apakah demokrasi yang selama ini kita junjung tinggi sudah berada dalam keadaan kritis? Dan apa gunanya memiliki banyak partai politik (parpol) jika demokrasi kita sudah sedemikian terkekang?
Mari kita mulai dengan mencermati proses Pilkada DKI Jakarta yang sempat menjadi pusat perhatian nasional.
Pilkada ini, yang seharusnya menjadi ajang perayaan demokrasi, justru berubah menjadi panggung politik yang penuh dengan ketegangan, manipulasi, dan polarisasi.
Dinamika politik yang seharusnya sehat dan adil berubah menjadi medan pertempuran yang sengit, di mana berbagai pihak terlibat dalam strategi kotor untuk memenangkan kekuasaan.
Dari sinilah tren negatif ini mulai menyebar ke daerah lain, menciptakan situasi di mana demokrasi tidak lagi menjadi alat untuk mengekspresikan kehendak rakyat, melainkan menjadi sekadar formalitas yang dikendalikan oleh segelintir elit politik.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apa gunanya memiliki banyak parpol jika demokrasi kita sudah sedemikian terkekang? Dalam teori, partai politik seharusnya menjadi kendaraan bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasi dan kepentingan mereka. Namun, dalam praktiknya, banyak parpol justru menjadi alat bagi para elit politik untuk mempertahankan kekuasaan mereka.
Partai-partai yang seharusnya menjadi representasi dari berbagai kelompok masyarakat, kini lebih sering menjadi alat tawar-menawar di balik layar, di mana keputusan penting diambil tanpa mempertimbangkan kehendak rakyat.
Calon kepala daerah yang seharusnya menjadi ujung tombak dalam memperjuangkan kepentingan rakyat, kini banyak yang takut kalah atau bahkan kemaruk jabatan.
Mereka lebih memilih bermain aman dengan cara mendekati elit-elit politik yang memiliki pengaruh besar, ketimbang benar-benar berjuang untuk rakyat.
Tidak jarang kita melihat calon kepala daerah yang hanya sekadar menjadi boneka dari kepentingan parpol atau kelompok tertentu.
Akibatnya, proses demokrasi yang seharusnya menjadi ajang kompetisi yang sehat dan adil, berubah menjadi kontes kekuatan di antara para penguasa.
Di sisi lain, para petinggi parpol juga tampaknya tidak luput dari pengaruh kekuatan eksternal yang mengancam independensi mereka.
Bukan rahasia lagi bahwa banyak di antara mereka yang sudah tersandera oleh kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, sehingga sulit untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang sejati.
Dalam kondisi seperti ini, rakyat seringkali menjadi korban dari permainan politik yang jauh dari nilai-nilai demokrasi yang sebenarnya.
Demokrasi, dalam pengertiannya yang paling dasar, seharusnya memberikan ruang bagi semua orang untuk berpartisipasi secara bebas dan setara dalam proses politik.
Namun, ketika demokrasi hanya menjadi sekadar formalitas dan alat bagi segelintir elit untuk mempertahankan kekuasaan, maka esensi dari demokrasi itu sendiri sudah hilang.
Apa yang tersisa hanyalah bayangan dari sebuah sistem yang seharusnya memberikan harapan dan keadilan bagi semua orang.
Pilkada DKI Jakarta mungkin hanya permulaan dari tren yang lebih besar yang sedang terjadi di Indonesia.
Jika tren ini terus berlanjut, maka kita akan melihat semakin banyak daerah yang mengikuti jejak ibu kota, di mana demokrasi hanya menjadi sekadar topeng bagi kekuasaan yang dikendalikan oleh elit-elit tertentu.
Situasi ini tentu sangat berbahaya bagi masa depan demokrasi kita, karena jika dibiarkan, kita mungkin akan kehilangan sistem politik yang selama ini kita banggakan.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkan demokrasi kita?
Pertama-tama, rakyat harus kembali diberdayakan dan diberi ruang yang lebih besar untuk berpartisipasi dalam proses politik.
Ini berarti mendorong partisipasi politik yang lebih aktif dan memastikan bahwa suara rakyat benar-benar didengar dan diperhitungkan.
Selain itu, parpol harus kembali ke fungsi aslinya sebagai representasi dari kepentingan rakyat, bukan sekadar alat untuk mempertahankan kekuasaan.
Para calon kepala daerah juga harus didorong untuk bersaing secara sehat dan adil, tanpa takut kalah atau tergiur oleh jabatan. Mereka harus berani mengambil risiko untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan hanya mencari aman dengan mendekati elit-elit politik.
Terakhir, para petinggi parpol harus mampu membebaskan diri dari berbagai tekanan dan pengaruh eksternal yang mengancam independensi mereka.
Dengan langkah-langkah ini, kita bisa berharap bahwa demokrasi di Indonesia masih memiliki harapan untuk bangkit kembali.
Demokrasi tidak boleh mati di tangan para elit yang hanya mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok. Demokrasi harus tetap menjadi milik rakyat, dan kita semua memiliki tanggung jawab untuk menjaganya.
(**).